Mengenal Ulama Lebih Dekat (1)


Ulama adalah seorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia



Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Jika Anda ditanya, siapakah itu ulama; jawaban apakah yang kira-kira akan anda berikan? Apakah seperti asumsi khalayak yang memandang bahwa ulama itu adalah setiap penceramah yang membicarakan agama? Atau seperti yang diyakini beberapa kalangan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian? Atau mungkin seperti pandangan kaum feodal yang memandang bahwa ia adalah seorang pemegang jabatan keagamaan?
Siapakah ulama itu?

“Ulama adalah pewaris nabi,” begitu jelas Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmizi.

Tentunya, kita semua tahu apa dan bagaimana tugas nabi itu, bukan? Ya, membina dan membimbing umat dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran dengan berlandaskan pada wahyu. Menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Mengentaskan umat dari kegelapan dan kehancuran. Menyelamatkan umat dari kebodohan dan kenistaan. Dan yang terpenting, menyampaikan amanat risalah dari Rabb sekalian alam. Itulah tugas nabi.

Pun begitu sejatinya ulama. Ia adalah penerus estafet perjuangan nabi. Ia adalah pemangku tugas nabi. Semua tugas nabi, ia yang mewarisinya. “Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham. Yang mereka wariskan adalah ilmu. Siapa yang mengambil warisan itu berarti ia mengambil bagian yang banyak,” begitu sambung hadis di atas.

Jika ulama adalah pewaris nabi, berarti dialah yang bertugas membimbing dan membina umat sepeninggal nabi. Jika ulama adalah penerus estafet perjuangan nabi, maka dialah yang berkewajiban menuntun umat menuju kehidupan yang bahagia sebagaimana dicontohkan nabi. Dan jika ulama adalah pemangku tugas nabi, maka dialah yang berhak mengentaskan dan menyelamatkan umat dari kegelapan, kehancuran, kebodohan, dan kenistaan seperti yang dituntunkan nabi. Jika memang demikian, sungguh berat amanah yang ada di pundaknya, dan sungguh sangat mulia pekerjaan itu. “Ulama adalah pewaris nabi“. Sungguh, hanya orang pilihanlah yang mampu mengambil warisan nabi itu.

Maka…

Jika keberadaan nabi di tengah-tengah umat adalah sebuah mahakarunia dari sang Maha Pengasih, maka keberadaan ulama pun berarti sebuah karunia yang tak ternilai harganya. Jika keberadaan Nabi mutlak dibutuhkan umat, pun begitu keberadaan ulama tak bisa dipisahkan dari sejarah umat. Jika nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu juga ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai koridor syar’i. Jika pribadi nabi adalah manusia pilihan yang wajib dicintai dan disayangi, ulama juga manusia pilihan yang berhak untuk dicintai dan disayangi.

Ringkasnya, jika kebahagiaan hidup umat manusia itu, baik dunia maupun akhirat, tergantung pada petunjuk nabi, maka sepeninggalnya pun kebahagian umat manusia juga tergantung pada petunjuk ulama yang menapaktilasi tuntunan nabi.

Lalu, siapakah ulama itu?

Ibnu Jarir ath-Thabari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah seorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia. Sementara itu, Ibnul Qayyim dalamI’lamul Muwaqqi’in-nya membatasi bahwa ulama adalah orang yang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa di tengah-tengah manusia, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam kemudian menyimpulkannya, dan yang merumuskan kaidah-kaidah halal dan haram.

Ulama adalah seorang pemimpin agama yang dikenal masyarakat luas akan kesungguhan dan kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana firman Allah,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (Q.s. As-Sajdah [32]: 24).

Ia adalah seorang yang menekuni dan mendalami agama kemudian mendakwahkannya kepada umat. Allah Azza wajalla menegaskan,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tiap-tiap golongan tidak mengutus beberapa orang untuk memperdalam agama lalu memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali; supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (Q.s. At-Taubah [9]: 122).

Ia seorang penunjuk jalan bagi umat manusia pada setiap zaman. Ia seperti yang disabdakan baginda nabi, “Akan selalu ada di umatku ini sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Tidaklah memberinya madharat siapa saja yang melecehkannya atau menyelisihinya, sampai datang ketetapan dari Allah sedangkan ia dalam keadaan dimenangkan atas yang lain” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Siapakah gerangan kelompok yang dimenangkan itu? Mereka, ungkap Nawawi dalam Syarh Shahih Muslimnya, sekelompok orang mukmin yang terdiri dari para pejuang yang gagah berani, para ahli hadis, para ahli ibadah, para penegak amar makruf dan nahi munkar, dan yang lainnya. Bukanlah sebuah keharusan, tegasnya lebih lanjut, mereka ini berkumpul di bawah satu bendera. Sebab, bisa saja mereka ini menyebar di berbagai belahan bumi. Tetapi yang jelas, siapa pun kelompok itu, para ulamalah yang menjadi pemuka dan pemimpinnya, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Makna Al Jama’ah

Ulama adalah seorang yang diisyaratkan Rasulullah dalam sabdanya, “Hiduplah kalian dalam satu jemaah dan jangan berpecah-belah. Sebab setan itu lebih mudah menjerumuskan satu orang daripada dua orang. Siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah surga maka bergabunglah dengan jemaah itu. Siapa yang merasa gembira dengan kebaikan yang dimilikinya dan merasa sedih dengan kejelekan yang ada pada dirinya, itulah sesungguhnya orang mukmin” (H.R. Ahmad dan Tirmizi).

Lalu, jemaah seperti apakah yang dimaksud itu? Para ulama menjelaskan, al-Qurthubi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan jemaah itu ada dua macam: pertama, sekumpulan kaum muslimin yang bersatu di bawah komando seorang pemimpin yang terpilih secarasyar’i. Kedua, ia adalah ungkapan dari metodologi dan tata cara beragama seseorang. Maksudnya? Yakni siapa pun yang berada di atas petunjuk nabi Muhammad, para shahabatnya, dan salafus saleh maka berarti ia telah bergabung dengan jemaah.

Al-Ajurri dalam kitabnya, asy-Syari’ah, menjelaskan tentang pentingnya keberadaan jemaah tersebut. Setelah menyitir beberapa ayat dan hadis yang berkenaan dengan itu, ia pun berkomentar, “Tanda bahwa seseorang itu dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah ia berada di atas jalan itu. Yakni Al Quran, sunnah, petunjuk para shahabat, petunjuk para tabiin, dan pemimpin kaum muslimin di setiap negeri yang terdiri dari para ulama, seperti: Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Qasim bin Salam, dan siapa saja yang menempuh jalan mereka. Di samping itu, ia juga meninggalkan setiap petunjuk yang tidak ada tuntunannya dari para ulama itu”.

Karenanya, asy-Syatibi dalam al-I’tishamnya menyebutkan jawaban Ibnul Mubarak ketika ditanyai perihal jemaah yang layak untuk diikuti itu, “Abu Bakar, Umar, (dan seterusnya. Ia menyebut satu persatu nama ulama sampai pada nama Muhammad bin Tsabit). Ketika penanya mencoba menginterupsinya, “Mereka semua sudah meninggal dunia, siapakah kira-kira yang masih hidup?” “Abu Hamzah as-Syukri,” begitu jawabnya.

Begitulah Ibnul Mubarak menjelaskan bahwa jemaah yang wajib diikuti itu adalah para ulama, bukan yang lainnya. Oleh karena itu, paparan singkat di atas menyimpulkan bahwa perintah agar hidup berjemaah yang termaktub dalam hadis di atas itu berarti bahwa mengikuti kesepakatan yang telah dibuat oleh para ulama adalah sebuah kewajiban atas setiap orang muslim. Itulah, kata Ibnu Bathal, seperti yang yang ditulis Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya, yang dimaksud Bukhari ketika menjelaskan hakikat jemaah dengan ucapannya, “Yaitu para ulama.”

Ali bin Abi Thalib pernah mengungkapkan, seperti yang dikutip Ibnu Abdul Barr dalam kitabJami’ Bayanil Ilmi, “Ulama akan selalu dikenang di setiap zaman. Meskipun jasad mereka telah tiada, namun jasa-jasa mereka akan selalu terpatri dalam benak sanubari“.

Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faedah Bersikap Ikhlas

Kado Istimewa Untuk Para Ayah dan Bunda (Orangtua Harus Baca)

Peristiwa Serangan Gedung WTC Dilakukan Mujahidin atau Bush?